Jumat, 17 Januari 2020

Jurnalisme Pembangunan


Sekilas tentang jurnalisme pembangunan, kegiatan ini berkaitan dengan pembangunan infrastruktur daerah, seperti jalan, bandara, MRT, hotel / apartement, industri, dan sebagainya.

Wilbur Schramm (1982) mengatakan, peranan mass-media dalam pembangunan nasional adalah sebagai agen pembaharu. Letak peranannya, menurut Schramm, dalam hal membantu mempercepat proses peralihan masyarakat yang tradisional menjadi masyarakat modern. Khususnya peralihan dari kebiasaan-kebiasaan yang menghambat pembangunan ke arah sikap baru yang tanggap terhadap pembaharuan demi pembaharuan.

Sasaran utama jurnalisme pembangunan adalah mendukung keberhasilan pembangunan di segala bidang. Dalam tatanan politik di era Orde Baru itu, tak bisa dipungkiri pertumbuhan serta perkembangan pers memiliki korelasi dengan laju pertumbuhan dan perkembangunan nasional.

Dibawah ini merupakan tugas dari Dosen Pengampu mengenai Jurnalisme Investigasi

Reaktivasi Stasiun Garut Kota

Progres pengerjaan reaktivasi kereta api Stasiun Cibatu hingga Garut Kota, Kabupaten Garut, Jawa Barat, hampir terselesaikan. Pemerintah menargetkan kereta mulai beroperasi awal tahun ini.

Dilansir dari detik.com Kepala Dinas Perhubungan Suherman mengatakan "Sekitar tanggal 12 Februari mulai beroperasi," ujar ia di depan wartawan di Lapangan Setda Garut, Senin (9/12/2019) .
Menurutnya, progress pengerjaan reaktivasi kereta api tahap pertama dari Garut-Cibatu berjarak 19,8 kilometer masih berlangsung.

Progress pengerjaan reaktivasi ini sudah sampai dipenghujung target pengoprasian, dengan jarak 19,9 Kilometer proses pengerjaan rel hamper 80 persen terselesaikan. “Progres pekerjaan mencapai 80% dengan posisi treck di sudirman,” ujar Haerudin PM Manajer Proyek KAI Stasuin Garut, Senin (6/01/2020).

Namun beberapa kendala sering ditemui, dengan cuaca yang tidak menentu menyebabkan beberapa treck rel kereta api amblas karena hujan, namun menurut Haerudin kendala secara global tidak ada, namun kendala lingkungan masih menjadi penghambat pengerjaan seperti limbah kulit Sukaregang yang menumpuk.

Proyek stasiun PT KAI di Garut Kota dimulai sejak awal Februari 2019 s.d Februari 2020, mulai dari proses pembebasan tanah warga oleh DAOP (Daerah Operasi Kereta Api). Setelah lahan bebas, pelaksana mulai membangun proyek stasiun PT. KAI Garut.

Ada beberapa bangunan dekat stasiun Garut Kota yang tidak dihancurkan karena alasan untuk dijadikan rumah staff atau mess sebanyak 8 rumah dengan desain rumah masih sama seperti dahulu.

“Harapan untuk reaktivasi ini, masyarakat Garut menjadi lebih maju dan menambah pendapatan daerah,” ujar Haerudin di Stasiun Garut Kota, Senin (6/01/2020).

Computer-Assisted Reporting (CAR)


Jurnalisme Investigasi merupakan kegiatan jurnalistik dalam mengumpulkan, menulis, menerbitkan, dan mengedit sebuah berita yang bersifat investigatif, atau juga bisa dikatakan sebuah kegiatan penelusuran panjang dan mendalam terhadap sebuah kasus yang dianggap memiliki kejanggalan. Didalam jurnalisme investigasi terdapat istilah Computer Assisted Reporting atau disingkat CAR, CAR merupakan sebuah cara jurnalis untuk membangun database sendiri dengan memanfaatkan bantuan komputer untuk melakukan reportase, mengumpulkan atau menganalisa informasi untuk beritanya. Dilansir dalam investigativemanual.org Internet telah meningkatkan secara dramatis pasokan informasi bagi para reporter, juga mengembangkan kemampuan wartawan untuk mengatur, mengambil kembali, dan menganalisa informasi tersebut.

“Berbagai program pencarian telah merevolusi cara menemukan data di Internet. Beberapa yang paling terkenal adalah DuckDuckGo dan meta-crawlers, yang mengambil data dari empat atau lima mesin pencari pada waktu bersamaan. Trik untuk pencarian di Internet yang efisien adalah menggunakan kata kunci dan frasa yang spesifik untuk mengurangi hasil yang tidak relevan. Di DuckDuckGo, Anda bisa menyaring hasil pencarian berdasarkan waktu, wilayah, dan bahasa, atau menggunakan metode penelitian untuk membatasi temuan dalam setiap pencarian.”

Hal ini mempermudah seorang jurnalis dalam mencari informasi tentang seseorang yang akan di investigasi, namun tidak semna mena juga, ketika kita mencari sebuah informasi terhadap seseorang, kita harus mencari kata kunci yang tepat. Selain nama yang di ketik, alamat atau identitas lain juga harus menjadi pertimbangan supaya apa yang nantinya kita cari dapat secara detail dan kebenarannya bisa di pertanggung jawabkan.
Hal-hal tersebut antara lain :
  • Seandainya mungkin, publikasikan referensi mendetail atau tautan ke situs di mana dokumen aslinya bisa ditemukan; transparanlah mengenai data yang Anda temukan dan gunakan.
  • Verifikasi datamu secara saksama, termasuk mengecek tanggal informasi tersebut dibuat.
  • Simpulkan dengan jelas data statistik dan data-data berupa angka; pembacamu mungkin tidak bisa menghitungnya dan mengandalkan ketepatan berhitungmu.



Rabu, 18 Desember 2019

Review Film The Bang Bang Club


Film The Bang Bang Club menceritakan tentang hidup menjadi seorang jurnalis, kali ini tiga jurnalis foto menjadi pokok cerita didalamnya pada sebuah majalah harian “ The Star” diantaranya adalah Kevin Carter, Ken Oosterbreok, dan Joao Silva yang membentuk sebuah club resmi The Bang-Bang Club. Kemudian dating seseorang jurnalis foto professional yang pernah mendapatkan Pulitzer penghargaan tertinggi dibidang jurnalis dia adalah Greg, kemudian ia ikut bergabung dan menggenapkan anggota menjadi 4 orang.
Ke empat jurnalis foto ini terjun ke daerah konflik di benua afrika selatan yang saling bunuh satu sama lain, hanya karena perbedaan pandangan mengenai politik. Disanahlah kemudian keempat jurnalis ini mencari informasi dan momen yang tepat untuk membingkai perseteruan tersebut, lalu mengabarkan kedunia dengan bentuk foto.
Dalam film ini penulis mendapatkan beberapa poin yang sangat kritis bagi para pejuang informasi, mereka harus dihadapkan dalam keadaan yang sangat mendesak, diceritakan para jurnalis ini mendapatkan sebuah berita hangat mengenai kelaparan yang terjadi di Afrika. Film ini menunjukan kisah dibalik terciptanya foto yang fenomenal, dramatis dan juga sangat luar biasa dari karya jurnalis foto, dan bahwasannya menjadi seorang jurnalis foto itu tidak semudah yang dipikiran, dibalik karya yang luar biasa tersebut terdapAt perjuangan yang juga tak kalah luar biasanya, dan itu bertujuan untuk bisa mengabarkan kepada dunia juga membuka ratusan juta mata yang pada dasarnya banyak kejadian-kejadian yang terjadi di dunia ini.

Review Film Spotlight


Film Spotlight menayangkan cerita mengenai kasus asusila yang di usut kembali oleh sebuah kantor yang bergerak dibidang percetekan bernama The Boston Globe dalam menguak sebuah berita pelecehan. Film ini menunjukan bagaimana cara jurnalis menguak kebenaran dari berita yang beredar dalam keadaan penurunan jumlah pembaca Koran pada waktu itu, film ini juga menunjukan peran seorang jurnalis investigasi dalam menguak berita.
            Dalam pengambilan gambar penulis rasa cukup baik, namun flot cerita dari frame satu ke frame yang lainnya kurang menantan yang membuat penulis merasa bosan. Namun dalam isi materi naskahnya menunjukan betapa detailnya kegiatan jurnalistik investigasi ini, tidak semudah yang dibayangkan. Film ini juga memberikan motivasi bagi para jurnalis muda supaya jujur dan adil didalam menguak sebuah kasus.

Rabu, 13 November 2019

Sembilan Elemen Jurnalisme (Plus Elemen ke-10) Oleh Satrio Arismunandar


 Sejumlah prinsip dalam jurnalisme, yang  menjadi pegangan setiap para jurnalis. Prinsip-prinsip ini telah melalui masa pasang dan surut, dalam arti bahwasanya prinsip terbut mengalami turun naiknya. Namun, dalam perjalanan waktu, terbukti prinsip-prinsip itu tetap bertahan.
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001), dalam bukunya The Elements of Journalism, What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (New York: Crown Publishers), merumuskan prinsip-prinsip itu dalam Sembilan Elemen Jurnalisme sebagai berikut:

1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran
Kewajiban para jurnalis adalah menyampaikan kebenaran, sehingga masyarakat bisa memperoleh informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat. Bentuk kebenaran jurnalistik yang ingin dicapai ini bukan sekadar akurasi, namun merupakan bentuk kebenaran yang praktis dan fungsional.
Ini bukan kebenaran mutlak atau filosofis. Akan tetapi, merupakan suatu proses menyortir (sorting-out) yang berkembang antara cerita awal, dan interaksi antara publik, sumber berita (newsmaker), dan jurnalis dalam waktu tertentu. Prinsip pertama jurnalisme pengejaran kebenaran, yang tanpa dilandasi kepentingan tertentu (disinterested pursuit of truth)—adalah yang paling membedakannya dari bentuk komunikasi lain.
Contoh kebenaran fungsional, misalnya, polisi menangkap tersangka koruptor berdasarkan fakta yang diperoleh. Lalu kejaksaan membuat tuntutan dan tersangka itu diadili. Sesudah proses pengadilan, hakim memvonis, tersangka itu bersalah atau tidak-bersalah. Apakah si tersangka yang divonis itu mutlak bersalah atau mutlak tidak-bersalah?
Kita memang tak bisa mencapai suatu kebenaran mutlak. Tetapi masyarakat kita, dalam konteks sosial yang ada, menerima proses pengadilan –serta vonis bersalah atau tidak-bersalah-- tersebut, karena memang hal itu diperlukan dan bisa dipraktikkan. Jurnalisme juga bekerja seperti itu.

2. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga (citizens)
Organisasi pemberitaan dituntut melayani berbagai kepentingan konstituennya: lembaga komunitas, kelompok kepentingan lokal, perusahaan induk, pemilik saham, pengiklan, dan banyak kepentingan lain. Semua itu harus dipertimbangkan oleh organisasi pemberitaan yang sukses. Namun, kesetiaan pertama harus diberikan kepada warga (citizens). Ini adalah implikasi dari perjanjian dengan publik.
Komitmen kepada warga bukanlah egoisme profesional. Kesetiaan pada warga ini adalah makna dari independensi jurnalistik. Independensi adalah bebas dari semua kewajiban, kecuali kesetiaan terhadap kepentingan publik.
Jadi, jurnalis yang mengumpulkan berita tidak sama dengan karyawan perusahaan biasa, yang harus mendahulukan kepentingan majikannya. Jurnalis memiliki kewajiban sosial, yang dapat mengalahkan kepentingan langsung majikannya pada waktu-waktu tertentu, dan kewajiban ini justru adalah sumber keberhasilan finansial majikan mereka.

3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi
Yang membedakan antara jurnalisme dengan hiburan (entertainment), propaganda, fiksi, atau seni, adalah disiplin verifikasi. Hiburan –dan saudara sepupunya ―infotainment‖— berfokus pada apa yang paling bisa memancing perhatian. Propaganda akan menyeleksi fakta atau merekayasa fakta, demi tujuan sebenarnya, yaitu persuasi dan manipulasi. Sedangkan jurnalisme berfokus utama pada apa yang terjadi, seperti apa adanya.
Disiplin verifikasi tercermin dalam praktik-praktik seperti mencari saksi-saksi peristiwa, membuka sebanyak mungkin sumber berita, dan meminta komentar dari banyak pihak. Disiplin verifikasi berfokus untuk menceritakan apa yang terjadi sebenar-benarnya. Dalam kaitan dengan apa yang sering disebut sebagai ―obyektivitas‖ dalam jurnalisme, maka yang obyektif sebenarnya bukanlah jurnalisnya, tetapi metode yang digunakannya dalam meliput berita.
Ada sejumlah prinsip intelektual dalam ilmu peliputan: 1) Jangan menambah-nambahkan sesuatu yang tidak ada; 2) Jangan mengecoh audiens; 3) Bersikaplah transparan sedapat mungkin tentang motif dan metode Anda; 4) Lebih mengandalkan pada liputan orisinal yang dilakukan sendiri; 5) Bersikap rendah hati, tidak menganggap diri paling tahu.

4. Jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput
Jurnalis harus tetap independen dari faksi-faksi. Independensi semangat dan pikiran harus dijaga wartawan yang bekerja di ranah opini, kritik, dan komentar. Jadi, yang harus lebih dipentingkan adalah independensi, bukan netralitas. Jurnalis yang menulis tajuk rencana atau opini, tidak bersikap netral. Namun, ia harus independen, dan kredibilitasnya terletak pada dedikasinya pada akurasi, verifikasi, kepentingan publik yang lebih besar, dan hasrat untuk memberi informasi.
Adalah penting untuk menjaga semacam jarak personal, agar jurnalis dapat melihat segala sesuatu dengan jelas dan membuat penilaian independen. Sekarang ada kecenderungan media untuk menerapkan ketentuan ―jarak‖ yang lebih ketat pada jurnalisnya. Misalnya, mereka tidak boleh menjadi pengurus parpol atau konsultan politik politisi tertentu.
Independensi dari faksi bukan berarti membantah adanya pengaruh pengalaman atau latar belakang si jurnalis, seperti dari segi ras, agama, ideologi, pendidikan, status sosial-ekonomi, dan gender. Namun, pengaruh itu tidak boleh menjadi nomor satu. Peran sebagai jurnalislah yang harus didahulukan.

5. Jurnalis harus melayani sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan
Jurnalis harus bertindak sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan. Wartawan tak sekedar memantau pemerintahan, tetapi semua lembaga kuat di masyarakat. Pers percaya dapat mengawasi dan mendorong para pemimpin agar mereka tidak melakukan hal-hal buruk, yaitu hal-hal yang tidak boleh mereka lakukan sebagai pejabat publik atau pihak yang menangani urusan publik. Jurnalis juga mengangkat suara pihak-pihak yang lemah, yang tak mampu bersuara sendiri.
Prinsip pemantauan ini sering disalahpahami, bahkan oleh kalangan jurnalis sendiri, dengan mengartikannya sebagai ―mengganggu pihak yang menikmati kenyamanan.‖ Prinsip pemantauan juga terancam oleh praktik penerapan yang berlebihan, atau ―pengawasan‖ yang lebih bertujuan untuk memuaskan hasrat audiens pada sensasi, ketimbang untuk benar-benar melayani kepentingan umum.
Namun, yang mungkin lebih berbahaya, adalah ancaman dari jenis baru konglomerasi korporasi, yang secara efektif mungkin menghancurkan independensi, yang mutlak dibutuhkan oleh pers untuk mewujudkan peran pemantauan mereka.

6. Jurnalisme harus menyediakan forum bagi kritik maupun komentar dari publik
Apapun media yang digunakan, jurnalisme haruslah berfungsi menciptakan forum di mana publik diingatkan pada masalah-masalah yang benar-benar penting, sehingga mendorong warga untuk membuat penilaian dan mengambil sikap.
Maka, jurnalisme harus menyediakan sebuah forum untuk kritik dan kompromi publik. Demokrasi pada akhirnya dibentuk atas kompromi. Forum ini dibangun berdasarkan prinsip-prinsip yang sama sebagaimana halnya dalam jurnalisme, yaitu: kejujuran, fakta, dan verifikasi. Forum yang tidak berlandaskan pada fakta akan gagal memberi informasi pada publik.
Sebuah perdebatan yang melibatkan prasangka dan dugaan semata hanya akan mengipas kemarahan dan emosi warga. Perdebatan yang hanya mengangkat sisi-sisi ekstrem dari opini yang berkembang, tidaklah melayani publik tetapi sebaliknya justru mengabaikan publik. Yang tak kalah penting, forum ini harus mencakup seluruh bagian dari komunitas, bukan kalangan ekonomi kuat saja atau bagian demografis yang menarik sebagai sasaran iklan.

7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan
Tugas jurnalis adalah menemukan cara untuk membuat hal-hal yang penting menjadi menarik dan relevan untuk dibaca, didengar atau ditonton. Untuk setiap naskah berita, jurnalis harus menemukan campuran yang tepat antara yang kurang serius dan yang kurang-serius, dalam pemberitaan hari mana pun.
Singkatnya, jurnalis harus memiliki tujuan yang jelas, yaitu menyediakan informasi yang dibutuhkan orang untuk memahami dunia, dan membuatnya bermakna, relevan, dan memikat. Dalam hal ini, terkadang ada godaan ke arah infotainment dan sensasionalisne.

8. Jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional
Jurnalisme itu seperti pembuatan peta modern. Ia menciptakan peta navigasi bagi warga untuk berlayar di dalam masyarakat. Maka jurnalis juga harus menjadikan berita yang dibuatnya proporsional dan komprehensif.
Dengan mengumpamakan jurnalisme sebagai pembuatan peta, kita melihat bahwa proporsi dan komprehensivitas adalah kunci akurasi. Kita juga terbantu dalam memahami lebih baik ide keanekaragaman dalam berita.

9. Jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka
Setiap jurnalis, dari redaksi hingga dewan direksi, harus memiliki rasa etika dan tanggung jawab personal, atau sebuah panduan moral. Terlebih lagi, mereka punya tanggung jawab untuk menyuarakan sekuat-kuatnya nurani mereka dan membiarkan yang lain melakukan hal yang serupa.
Agar hal ini bisa terwujud, keterbukaan redaksi adalah hal yang penting untuk memenuhi semua prinsip jurnalistik. Gampangnya mereka yang bekerja di organisasi berita harus mengakui adanya kewajiban pribadi untuk bersikap beda atau menentang redaktur, pemilik, pengiklan, dan bahkan warga serta otoritas mapan, jika keadilan (fairness) dan akurasi mengharuskan mereka berbuat begitu.
Dalam kaitan itu, pemilik media juga dituntut untuk melakukan hal yang sama. Organisasi pemberitaan, bahkan terlebih lagi dunia media yang terkonglomerasi dewasa ini, atau perusahaan induk mereka, perlu membangun budaya yang memupuk tanggung jawab individual. Para manajer juga harus bersedia mendengarkan, bukan cuma mengelola problem dan keprihatinan para jurnalisnya.


10. Warga juga memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang terkait dengan berita.
Elemen terbaru ini muncul dengan perkembangan teknologi informasi, khususnya internet. Warga bukan lagi sekadar konsumen pasif dari media, tetapi mereka juga menciptakan media sendiri. Ini terlihat dari munculnya blog, jurnalisme online, jurnalisme warga (citizen journalism), jurnalisme komunitas (community journalism) dan media alternatif. Warga dapat menyumbangkan pemikiran, opini, berita, dan sebagainya, dan dengan demikian juga mendorong perkembangan jurnalisme. ***

SUMBER UTAMA :
Bill Kovach & Tom Rosenstiel. 2001. The Elements of Journalism. New York: Crown Publishers.
Biodata Penulis:
* Satrio Arismunandar adalah anggota-pendiri Aliansi Jurnalis Independen atau AJI (1994), Sekjen AJI (1995- 97), anggota-pendiri Yayasan Jurnalis Independen (2000), dan menjadi DPP Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1993-95. Pernah menjadi jurnalis Harian Pelita (1986-88), Kompas (1988-1995), Majalah D&R (1997- 2000), Harian Media Indonesia (2000-Maret 2001), Produser Eksekutif Divisi News Trans TV (Februari 2002-Juli 2012), dan Redaktur Senior Majalah Aktual – www.aktual.co (sejak Juli 2013). Alumnus Program S2 Pengkajian Ketahanan Nasional UI ini sempat jadi pengurus pusat AIPI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia) 2002-2011.

Kontak Satrio Arismunandar:
E-mail: satrioarismunandar@yahoo.com; arismunandar.satrio@gmail.com
Blog pribadi: http://satrioarismunandar6.blogspot.com
Mobile: 081286299061

Senin, 28 Oktober 2019

Bertaruh Nyawa di Gunung Papandayan


Gambar diambil dari Instagram @pesonaid_travel 

Oleh : Ardhies Al Misbah

Ketika itu dua orang teman Rasyid mengajaknya pergi ke suatu tempat untuk menemui indahnya panorama alam di Gunung Papandayan, dengan senang hati bak anak kecil ajakan tersebut ia  terima, namun sesaat ia berfikir dan mengintip isi dompetnya apakah cukup untuk pergi kesana? dengan isi 50 ribu yang terselip ia pun nekad dan memantafkan niatnya untuk pergi, walau perbekalan seadanya yang penting cukup untuk mengisi perut.

Keesokan harinya semua perbekalan dan perlengkapan untuk mendaki sudah siap dan tertata rapih di dalam ransel, dan siap siap untuk berangkat. Saat itu mereka tidak pergi bersamaan, kedua temannya berangkat terlebih lebih dahulu karena mereka mebawa empat orang wanita, niatnya supaya tidak kemalaman dan takut banyak kendala disaat perjalanan. Ia berangkat bersama satu orang sahabatnya dari kecil, jam tiga sore mereka memulai perjalanan dari kota menuju Gunung Papandayan dengan jarak tempuh sekitar dua jam-an.

“Sudah siap Di?,” ujar lelaki itu kepada Aldi sahabatnya sambil menggendong ranselnya.

“Siap Yid,” jawab sahabatnya itu kepada Rasyid.

Setelah perjalanan yang lumayan jauh dari kota, mereka sampai di pintu gerbang awal menuju Gunung Papandayan dengan menggunakan motor bebek kesayangannya itu, sekejap mereka beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan. Rasyid sesaat menghela nafas dengan sebatang roko yang tersemai di jemari, dan memikirkan kedua temannya yang sudah sampai disana, perasaannya sedikit tak enak, Aldi melihat dan merasa aneh kenapa wajah Rasyid datar dan pandangannya kosong layaknya seperti seorang singa yang tak mempunyai taring, namun ia tidak peduli akan hal itu, di dalam pikiran nya mungkin Rasyid hanya lelah, karena perjalanan yang cukup jauh.

Beberapa menit setelah istirahat mereka pun berangkat, dengan hati Rasyid yang masih deg degan, “Ah sudah lah jangan pikirkan itu semua pasti akan baik baik saja,”seru Rasyid sambil melempar puntung rokonya. Aroma ilalang mulai tercium kuat, rasa dingin mulai menusuk tubuh, penglihatan pun sedikit terhalang karena kabut tebal yang mulai menyambut kehadiran mereka, cahaya sang surya perlahan menghilang, senja pun begitu cepat berlalu tanpa ucapkan salam sedikitpun. Dari kejauhan terlihat sebutir cahaya berwarna kuning yang menandakan perjalanan mereka harus berhenti ditemani oleh motor bebek kesayangannya itu, kasian ia sudah kelelahan menanggung beban mereka berdua ditambah beratnya perlengkapan yang mereka bawa.

Akhirnya mereka sampai di pintu gerbang Gunung Papandayan dengan senyum sambutan oleh para penjaga, obrolan kecil masalah aturan, pengecekan barang, dan ketentuan apa saja yang harus di patuhi, dengan sedikit gelak canda yang mengiringi mereka. Rasyid dan Aldi pun daftar menuliskan nama masing masing beserta nomor HP yang dapat dihubungi, dengan harapan agar bisa kembali lapor dengan selamat. Mereka di mintai biaya seikhlasnya kala itu dengan tujuan untuk perawatan jalan dan lain-lain. Setelah selesai mereka shalat, setelah selesai shalat Rasyid menghela nafas dingin yang menusuk kidung, ia dan sahabatnya siap siap berangkat dengan keadaan gelap gulita, sebelum melakukan perjalanan ada ritual yang sering mereka lakukan yaitu berdoa kepadaNya agar dilancarkan dan dilindungi dari setiap mara bahaya yang menghampiri, dan di beri keberkahan di setiap langkah yang mereka lalui, karena tujuan mereka adalah untuk mengagumi ciptaanmu.
“Ini alam, apapun yang terjadi kita tidak tahu apa yang nanti akan terjadi, semua itu adalah kuasaNya, satu amanat jangan sampai sompral (berkata mistis/tidak baik), bismillahirrohmanirrohiim,” kata itu selalu mereka ucapkan sebelum melakukan perjalanan mendaki.

Sebetulnya mereka di larang melakukan pendakian, karena kata para penjaga perjalanan malam cukup berbahaya, lebih baik besok saja katanya. Namun Rasyid enggan untuk mendengarkan mereka dan melanjutkan perjalanan tanpa sepengetahuan mereka.

Dengan di temani cahaya portabel mereka pun mulai melangkahkan kaki di bebatuan, pengalaman sebelumnya membuat mereka tidak merasa takut untuk menjelajahinya, ini kali kedua. Bau belerang mulai tercium seakan menyayat hidung, aromanya memaksa masuk kedalam otak yang sedikit membuat kepala sakit. Sehelai kain penutup mulut pun mulai mereka pakai, perjalanan sangat melelahkan kaki namun tak melelahkan hati untuk segera sampai di tempat perkemahan. Jalan bebatuan dan belerang mulai merelakan kedua pemuda itu pergi menjauh, sekarang hanya tanah yang basah dan pepohonan yang rimbun mengiringi perjalanannya, sempat mereka dapati dari arah berbeda beberapa rombongan lain  berkali kali menghampiri dan menyapa kemudian menghilang, mereka pulang.

Tidak banyak obrolan yang kedua pemuda itu lakukan, mereka terlalu sibuk menemani nafas masing-masing yang semakin lama semakin berirama, di tengah perjalanan mereka pun istirahat untuk mereda lelah dan menyegarkan tenggorokan. Sebatang rokok pun menemani peristirahatannya, rasa dingin dan lelah sekejap hilang dan tenang ketika perlahan menghirup sedikit demi sedikit asap yang keluar dari rokok itu, sampai mereka tidak sadar rokok itu sudah menjadi puntung dan mati dengan sendirinya.

Pejalanan pun mulai mereka lalui kembali, badan terasa sangat dingin karena bercampurnya udara dengan keringat membasahi baju yang membalut badan mereka, namun Rasyid dan Aldi mengabaikan rasa itu dan terus mengfokuskan fikiran ke tempat perkemahan, “Ingin rasanya untuk cepat berbaring atau duduk diantara hangatnya api yang menghiasi malam,”ujar hati Rasyid, namun pos dua saja belum terlihat apalagi pondok saladah, “Ahh sudah lah jangan terlalu banyak fikiran ayo terus langkahkan kaki mu,” ia kembali bergumam.

Entah ini jam berapa Rasyid tak peduli karena terlalu fokus berjalan, akhirnya setelah beberapa langkah mereka pun sampai di pos dua namun mereka abaikan, mereka matikan lampu senter dan terus berjalan dengan langkah seperti seekor harimau yang sedang mengintip mangsanya, mereka tidak ingin ketahuan dan lapor di pos dua karena mereka rasa lapor di pos satu saja sudah cukup. Setelah terlewati senter pun mereka nyalakan kembali, dan woooww mereka terkejut karena melihat sesuatu berwarna putih, eh ternyata hanya kantong plastik, “Aing reuwas bebel,” dalam bahasa Indonesia artinya saya terkejut, kata itu keluar dari mulut Aldi, Rasyid pun menjawab “Aku pun sama terkejut,” sambil gelak tawa mengiringi mereka.

Akhirnya kedua pemuda itu pun sampai di pondok saladah sebuah spot untuk berkemah, mereka dapati banyak orang yang sudah mendirikan tenda dengan api unggun di depannya, entah berapa banyak tenda yang berdiri tegak di tempat itu yang jelas banyak, sampai mereka tidak tahu kedua teman Rasyid yang sebelumnya sudah sampai disini. Namun mereka abaikan pencarian kedua teman Rasyid, yang penting mereka shalat isya terlebih dahulu. Sesudah itu Rasyid dan Aldi mulai berpencar mencari dimana tempat mereka, jika sudah mengetahuinya Rasyid dan Aldi sepakat untuk bertemu di tengah lapang dekat sumber air.

Rasyid pun berjalan ke arah kanan entah itu Utara atau Selatan yang penting berpencar, teriakan ia mengiringi langkah sembari melihat kiri kanan mencari tenda mereka. Namun Rasyid tak sedikitpun mendapati sautan mereka entah tidak terdengar oleh mereka atau mungkin memang tidak ada di arah Rasyid atau juga mereka terlalu sibuk bermimpi sehingga tak mendengar. Rasyid pun kembali ke tempat pertemuan dengan Aldi dengan harapan sahabatnya menemukan mereka, rasa dingin mulai menyiksa tubuhnya, mengigil seluruh tubuhnya, tangannya sudah tak merasakan apapun.

Aldi sudah menunggu ia di tengah lapang, Rasyid pun bergerak menghampirinya dan ternyata sahabatnya pun tak menemukan mereka, “Ya sudahlah Di kita istirahat dulu deh, jangan sampai kita kelelahan,” mereka pun menghampiri tenda orang lain yang sedang membakar sesuatu entah bahan bakarnya ia dapatkan dari mana yang penting mereka bisa merasakan hangat, dengan sedikit malu kedua pemuda itu pun menyapanya.

“Halo bang, apa kabar? hehe,” tanya Rasyid dengan nada malu.

“Eh baik mas baik,” jawab pria berambut gondrong itu.

“Boleh bang ikut ngangeut?,”

“Pasti boleh lah, yu mari mas mari.”

Akhirnya Rasyid dan Aldi pun mendapat kehangatan dari bara api yang melebur dalam dinginnya malam, mereka sedikit ngobrol dengan pria gondrong itu, anehnya tak pernah terucap kata untuk menanyakan nama, hanya asal yang mereka saling tanyakan. Rasyid pun mengeluarkan sebungkus kopi dan menawarkan rokok kepada pria gondrong itu namun ia menolaknya karena sedari tadi sudah terlalu banyak mengisap rokok, tak terlalu lama sesudah sebatang rokok dan kopi habis, Rasyid dan Aldi pun pamit dengan alasan untuk kembali mencari kedua temannya.

Kedua pemuda itu kembali berpercar namun yang mereka dapatkan hanyalah dingin dan keringat yang membalut, akhirnya mereka pun memutuskan untuk diam dan mencari tempat untuk berkemah, karena Rasyid rasa akan sia-sia jika pencarian tetap di lakukan, mereka pun memilih tempat yang sedikit tertutup oleh pepohonan, walau tak landai tapi tak apa yang penting angin malam tidak terlalu menyayat tubuh kami. Setelah itu kami buka matras dan kami gelar di tanah yang sedikit basah, tanpa mendirikan tenda karena kami tidak membawanya.

Rasyid sedikit merasa bersalah karena tidak berhasil menemukan kedua temannya, dan terpaksa harus tidur tanpa adanya atap kain yang melindungi mereka, Rasyid mulai mencari ranting-ranting pohon yang jatuh namun apa daya hanyalah daun saja yang berserakan, jikalau ada ranting pun pasti ia dapati ranting itu masih basah.

“Yah ga ada penghangat untuk malam ini” Rasyid bergumam.

Rasyid pun kembali ke tempat itu, dan ia dapati Aldi sudah membereskan peralatan dan memakai tiga rankap baju dan dua rangkap celana, ia ingin tertawa melihat kelucuannya namun karena dinginnya malam Rasyid merasa wajar saja jika ia seperti itu.

Rasa kantuk mulai menyelimuti, ia keluarkan sleepingbag dari ransel dan mulai masuk kedalamnya, beberapa detik memang terasa hangat namun setelahnya dingin tetap memaksa masuk kedalam dan dingin kembali menyapa tubuhnya, ia abaikan rasa itu karena rasa tubuhnya sudah lelah untuk berbuat apa apa, yang ia inginkan ketika itu hanyalah supaya bisa tidur nyenyak dan hangat.

Beberapa lama berlalu namun pikiran Rasyid tak pernah larut kedalam mimpi, hanya matanya yang beristirahat, mengigil tubuhnya, tak kuat rasanya, akhirnya ia menyerah dan berusaha bangun dan duduk teridiam, ia lihat Aldi pun sama mengigil tubuhnya tapi apa daya mereka tak bisa berbuat apa apa, perut pun mulai merasakan kekosongan, cacing mulai berontak tapi mereka tak bisa menghangatkan atau memberikannya asupan karena kompor pun mereka tidak membawa, malam bagaikan pedang yang perlahan menyayat leher mereka, akhirnya mereka terima dinginnya malam itu tanpa mengeluh sedikitpun sampai perlahan waktu menunjukan fajar akan segera muncul, orang lain pun mulai keluar dari tenda tendanya, mereka pun sama keluar dari sleeping bag yang mereka pakai, kedua pumuda itu lanjut melangkahkan kaki  ke sumber air dan mulai berwudhu, saat itu Rasyid rasakan air bagaikan eskrim yang menusuk kulit begitupun yang di rasakan Aldi, namun mereka abaikan kembali dan bersegera shalat ketika waktu subuh sudah tiba.

Setelah itu mereka makan apa adanya, hanya ada mie instan yang tersemai di dalam ransel, mereka pun makan secara mentah mentah, walau mereka tau itu tidak baik bagi lambungnya, yah begitulah bertahan hidup apapun akan mereka lakukan.

Langit pun mulai cerah, namun matahari belum juga menyentuh ubun-ubun karena sinarnya terhalang oleh bukit-bukit di sekitaran pondok saladah, mereka pun bersegera beres beres untuk melanjutkan perjalanan tanpa memikirkan kedua teman yang mereka cari, yang di tuju hanyalah puncak yaitu padang edelweiss, di mulailah perjalanan tanpa mengisi perut mereka dengan yang berat-berat hanyalah mie instan kering yang perut mereka bawa, perjalanan ke puncak lumayan jauh dan curam sampai beberapa kali berhenti sejenak, sempat Rasyid tergelincir dan jatuh ketika memanjat bebatuan, “Sakit sih tapi aku abaikan saja,”ujar Rasyid, dan akhirnya mereka pun sampai di puncak.
Rasa dingin, lapar, haus seketika pudar oleh keindahan yang Gunung Papandayan berikan, daun-daun basah oleh tetesan embun seakan mengundang mereka untuk larut dalam kesegaran, awan terlihat seperti gumpalan kapas yang membentang di seluruh kota. Rasyid dan Aldi pun berjalan ke tengah tengah padang edelweiss yang mengurung mereka berdua, seolah-olah ia tidak ingin kehilangan mereka. Matahari pun mulai menampilkan pancarannya, kulitpun mulai terasa hangat, orang-orang pun mulai berdatangan dari luar semak-semak, mereka pun sama, ketika melihat keindahan yang puncak Papandayan berikan mereka sangat menikmatinya, satu hal yang wajib para pendaki lakukan adalah boleh mengambil sesuatu asalkan itu foto, dan tidak boleh membuang sesuatu kecuali itu jejak.

Setelah sang surya mulai meninggi akhirnya perut Rasyid merintih kembali air pun sudah mulai habis, kedua pemuda itu sadar bahwa perjalanan pulang masih jauh dan memerlukan air yang banyak, namun akhirnya karena mereka lapar mereka berpencar untuk mencari ranting dan kayu yang kering, niatnya mereka akan menanak nasi di sekitaran puncak, akhirnya kayu terkumpul dan mulai mebakar satu persatu bahan bakar yang tidak terlalu banyak, beraspun tak mereka bersihkan terlebih dahulu mengingat sedikitnya persidiaan air yang mereka miliki.

Akhirnya nasi pun matang, walau kelihatannya masih belum terlalu matang tapi karena perut mereka sudah tak sabar dan kurangnya air terpaksalah mereka makan, nasi hanya ditemani oleh garam dan ikan asin bakar. Walau kelihatannya sederhana namun yang Rasyid rasakan sangat nikmat, entah ia suka atau ia lapar, nasi itu serasa nasi yang di makan di restoran ternama.

Setelah makan mereka pun melanjutkan pergi untuk meninggalkan puncak dan pulang, mereka lalui hutan mati tanpa diam atau berfoto terlebih dahulu yang mereka inginkan hanya ingin bisa pulang dan menikmati hangatnya selimut dan kasur.



Selasa, 08 Agustus 2017

Dirgahayu HUT RI ke-72

Logo Penyemangat HUT RI ke-72
"Bersama Kita Raih Mimpi"

Creator logo : Mukhtar dan Saya

Biar di peringatan HUT RI ini kalian bisa lebih Semangat dalam Memperingatinya, kalian boleh pake logo ini atau di perbaharui juga boleh, atau mau dipakai di produk produk kaos, topi, dll juga bisa, tapi jangan lupa hastag di ig atau tweety #72thgarudamerdeka oke?
-Jambul garuda melambangkan 34 prov di Indonesia supaya kita terus bersatu walau dengan keberagaman..
-Bendera sebagai sayap pemersatu bangsa, bersama mengepakan sayap untuk terbang meraih mimpi..
-Mata yang tajam merupakan bentuk dari keseriusan..

Jurnalisme Pembangunan

Sekilas tentang jurnalisme pembangunan, kegiatan ini berkaitan dengan pembangunan infrastruktur daerah, seperti jalan, bandara, MRT, hotel...