Senin, 28 Oktober 2019

Bertaruh Nyawa di Gunung Papandayan


Gambar diambil dari Instagram @pesonaid_travel 

Oleh : Ardhies Al Misbah

Ketika itu dua orang teman Rasyid mengajaknya pergi ke suatu tempat untuk menemui indahnya panorama alam di Gunung Papandayan, dengan senang hati bak anak kecil ajakan tersebut ia  terima, namun sesaat ia berfikir dan mengintip isi dompetnya apakah cukup untuk pergi kesana? dengan isi 50 ribu yang terselip ia pun nekad dan memantafkan niatnya untuk pergi, walau perbekalan seadanya yang penting cukup untuk mengisi perut.

Keesokan harinya semua perbekalan dan perlengkapan untuk mendaki sudah siap dan tertata rapih di dalam ransel, dan siap siap untuk berangkat. Saat itu mereka tidak pergi bersamaan, kedua temannya berangkat terlebih lebih dahulu karena mereka mebawa empat orang wanita, niatnya supaya tidak kemalaman dan takut banyak kendala disaat perjalanan. Ia berangkat bersama satu orang sahabatnya dari kecil, jam tiga sore mereka memulai perjalanan dari kota menuju Gunung Papandayan dengan jarak tempuh sekitar dua jam-an.

“Sudah siap Di?,” ujar lelaki itu kepada Aldi sahabatnya sambil menggendong ranselnya.

“Siap Yid,” jawab sahabatnya itu kepada Rasyid.

Setelah perjalanan yang lumayan jauh dari kota, mereka sampai di pintu gerbang awal menuju Gunung Papandayan dengan menggunakan motor bebek kesayangannya itu, sekejap mereka beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan. Rasyid sesaat menghela nafas dengan sebatang roko yang tersemai di jemari, dan memikirkan kedua temannya yang sudah sampai disana, perasaannya sedikit tak enak, Aldi melihat dan merasa aneh kenapa wajah Rasyid datar dan pandangannya kosong layaknya seperti seorang singa yang tak mempunyai taring, namun ia tidak peduli akan hal itu, di dalam pikiran nya mungkin Rasyid hanya lelah, karena perjalanan yang cukup jauh.

Beberapa menit setelah istirahat mereka pun berangkat, dengan hati Rasyid yang masih deg degan, “Ah sudah lah jangan pikirkan itu semua pasti akan baik baik saja,”seru Rasyid sambil melempar puntung rokonya. Aroma ilalang mulai tercium kuat, rasa dingin mulai menusuk tubuh, penglihatan pun sedikit terhalang karena kabut tebal yang mulai menyambut kehadiran mereka, cahaya sang surya perlahan menghilang, senja pun begitu cepat berlalu tanpa ucapkan salam sedikitpun. Dari kejauhan terlihat sebutir cahaya berwarna kuning yang menandakan perjalanan mereka harus berhenti ditemani oleh motor bebek kesayangannya itu, kasian ia sudah kelelahan menanggung beban mereka berdua ditambah beratnya perlengkapan yang mereka bawa.

Akhirnya mereka sampai di pintu gerbang Gunung Papandayan dengan senyum sambutan oleh para penjaga, obrolan kecil masalah aturan, pengecekan barang, dan ketentuan apa saja yang harus di patuhi, dengan sedikit gelak canda yang mengiringi mereka. Rasyid dan Aldi pun daftar menuliskan nama masing masing beserta nomor HP yang dapat dihubungi, dengan harapan agar bisa kembali lapor dengan selamat. Mereka di mintai biaya seikhlasnya kala itu dengan tujuan untuk perawatan jalan dan lain-lain. Setelah selesai mereka shalat, setelah selesai shalat Rasyid menghela nafas dingin yang menusuk kidung, ia dan sahabatnya siap siap berangkat dengan keadaan gelap gulita, sebelum melakukan perjalanan ada ritual yang sering mereka lakukan yaitu berdoa kepadaNya agar dilancarkan dan dilindungi dari setiap mara bahaya yang menghampiri, dan di beri keberkahan di setiap langkah yang mereka lalui, karena tujuan mereka adalah untuk mengagumi ciptaanmu.
“Ini alam, apapun yang terjadi kita tidak tahu apa yang nanti akan terjadi, semua itu adalah kuasaNya, satu amanat jangan sampai sompral (berkata mistis/tidak baik), bismillahirrohmanirrohiim,” kata itu selalu mereka ucapkan sebelum melakukan perjalanan mendaki.

Sebetulnya mereka di larang melakukan pendakian, karena kata para penjaga perjalanan malam cukup berbahaya, lebih baik besok saja katanya. Namun Rasyid enggan untuk mendengarkan mereka dan melanjutkan perjalanan tanpa sepengetahuan mereka.

Dengan di temani cahaya portabel mereka pun mulai melangkahkan kaki di bebatuan, pengalaman sebelumnya membuat mereka tidak merasa takut untuk menjelajahinya, ini kali kedua. Bau belerang mulai tercium seakan menyayat hidung, aromanya memaksa masuk kedalam otak yang sedikit membuat kepala sakit. Sehelai kain penutup mulut pun mulai mereka pakai, perjalanan sangat melelahkan kaki namun tak melelahkan hati untuk segera sampai di tempat perkemahan. Jalan bebatuan dan belerang mulai merelakan kedua pemuda itu pergi menjauh, sekarang hanya tanah yang basah dan pepohonan yang rimbun mengiringi perjalanannya, sempat mereka dapati dari arah berbeda beberapa rombongan lain  berkali kali menghampiri dan menyapa kemudian menghilang, mereka pulang.

Tidak banyak obrolan yang kedua pemuda itu lakukan, mereka terlalu sibuk menemani nafas masing-masing yang semakin lama semakin berirama, di tengah perjalanan mereka pun istirahat untuk mereda lelah dan menyegarkan tenggorokan. Sebatang rokok pun menemani peristirahatannya, rasa dingin dan lelah sekejap hilang dan tenang ketika perlahan menghirup sedikit demi sedikit asap yang keluar dari rokok itu, sampai mereka tidak sadar rokok itu sudah menjadi puntung dan mati dengan sendirinya.

Pejalanan pun mulai mereka lalui kembali, badan terasa sangat dingin karena bercampurnya udara dengan keringat membasahi baju yang membalut badan mereka, namun Rasyid dan Aldi mengabaikan rasa itu dan terus mengfokuskan fikiran ke tempat perkemahan, “Ingin rasanya untuk cepat berbaring atau duduk diantara hangatnya api yang menghiasi malam,”ujar hati Rasyid, namun pos dua saja belum terlihat apalagi pondok saladah, “Ahh sudah lah jangan terlalu banyak fikiran ayo terus langkahkan kaki mu,” ia kembali bergumam.

Entah ini jam berapa Rasyid tak peduli karena terlalu fokus berjalan, akhirnya setelah beberapa langkah mereka pun sampai di pos dua namun mereka abaikan, mereka matikan lampu senter dan terus berjalan dengan langkah seperti seekor harimau yang sedang mengintip mangsanya, mereka tidak ingin ketahuan dan lapor di pos dua karena mereka rasa lapor di pos satu saja sudah cukup. Setelah terlewati senter pun mereka nyalakan kembali, dan woooww mereka terkejut karena melihat sesuatu berwarna putih, eh ternyata hanya kantong plastik, “Aing reuwas bebel,” dalam bahasa Indonesia artinya saya terkejut, kata itu keluar dari mulut Aldi, Rasyid pun menjawab “Aku pun sama terkejut,” sambil gelak tawa mengiringi mereka.

Akhirnya kedua pemuda itu pun sampai di pondok saladah sebuah spot untuk berkemah, mereka dapati banyak orang yang sudah mendirikan tenda dengan api unggun di depannya, entah berapa banyak tenda yang berdiri tegak di tempat itu yang jelas banyak, sampai mereka tidak tahu kedua teman Rasyid yang sebelumnya sudah sampai disini. Namun mereka abaikan pencarian kedua teman Rasyid, yang penting mereka shalat isya terlebih dahulu. Sesudah itu Rasyid dan Aldi mulai berpencar mencari dimana tempat mereka, jika sudah mengetahuinya Rasyid dan Aldi sepakat untuk bertemu di tengah lapang dekat sumber air.

Rasyid pun berjalan ke arah kanan entah itu Utara atau Selatan yang penting berpencar, teriakan ia mengiringi langkah sembari melihat kiri kanan mencari tenda mereka. Namun Rasyid tak sedikitpun mendapati sautan mereka entah tidak terdengar oleh mereka atau mungkin memang tidak ada di arah Rasyid atau juga mereka terlalu sibuk bermimpi sehingga tak mendengar. Rasyid pun kembali ke tempat pertemuan dengan Aldi dengan harapan sahabatnya menemukan mereka, rasa dingin mulai menyiksa tubuhnya, mengigil seluruh tubuhnya, tangannya sudah tak merasakan apapun.

Aldi sudah menunggu ia di tengah lapang, Rasyid pun bergerak menghampirinya dan ternyata sahabatnya pun tak menemukan mereka, “Ya sudahlah Di kita istirahat dulu deh, jangan sampai kita kelelahan,” mereka pun menghampiri tenda orang lain yang sedang membakar sesuatu entah bahan bakarnya ia dapatkan dari mana yang penting mereka bisa merasakan hangat, dengan sedikit malu kedua pemuda itu pun menyapanya.

“Halo bang, apa kabar? hehe,” tanya Rasyid dengan nada malu.

“Eh baik mas baik,” jawab pria berambut gondrong itu.

“Boleh bang ikut ngangeut?,”

“Pasti boleh lah, yu mari mas mari.”

Akhirnya Rasyid dan Aldi pun mendapat kehangatan dari bara api yang melebur dalam dinginnya malam, mereka sedikit ngobrol dengan pria gondrong itu, anehnya tak pernah terucap kata untuk menanyakan nama, hanya asal yang mereka saling tanyakan. Rasyid pun mengeluarkan sebungkus kopi dan menawarkan rokok kepada pria gondrong itu namun ia menolaknya karena sedari tadi sudah terlalu banyak mengisap rokok, tak terlalu lama sesudah sebatang rokok dan kopi habis, Rasyid dan Aldi pun pamit dengan alasan untuk kembali mencari kedua temannya.

Kedua pemuda itu kembali berpercar namun yang mereka dapatkan hanyalah dingin dan keringat yang membalut, akhirnya mereka pun memutuskan untuk diam dan mencari tempat untuk berkemah, karena Rasyid rasa akan sia-sia jika pencarian tetap di lakukan, mereka pun memilih tempat yang sedikit tertutup oleh pepohonan, walau tak landai tapi tak apa yang penting angin malam tidak terlalu menyayat tubuh kami. Setelah itu kami buka matras dan kami gelar di tanah yang sedikit basah, tanpa mendirikan tenda karena kami tidak membawanya.

Rasyid sedikit merasa bersalah karena tidak berhasil menemukan kedua temannya, dan terpaksa harus tidur tanpa adanya atap kain yang melindungi mereka, Rasyid mulai mencari ranting-ranting pohon yang jatuh namun apa daya hanyalah daun saja yang berserakan, jikalau ada ranting pun pasti ia dapati ranting itu masih basah.

“Yah ga ada penghangat untuk malam ini” Rasyid bergumam.

Rasyid pun kembali ke tempat itu, dan ia dapati Aldi sudah membereskan peralatan dan memakai tiga rankap baju dan dua rangkap celana, ia ingin tertawa melihat kelucuannya namun karena dinginnya malam Rasyid merasa wajar saja jika ia seperti itu.

Rasa kantuk mulai menyelimuti, ia keluarkan sleepingbag dari ransel dan mulai masuk kedalamnya, beberapa detik memang terasa hangat namun setelahnya dingin tetap memaksa masuk kedalam dan dingin kembali menyapa tubuhnya, ia abaikan rasa itu karena rasa tubuhnya sudah lelah untuk berbuat apa apa, yang ia inginkan ketika itu hanyalah supaya bisa tidur nyenyak dan hangat.

Beberapa lama berlalu namun pikiran Rasyid tak pernah larut kedalam mimpi, hanya matanya yang beristirahat, mengigil tubuhnya, tak kuat rasanya, akhirnya ia menyerah dan berusaha bangun dan duduk teridiam, ia lihat Aldi pun sama mengigil tubuhnya tapi apa daya mereka tak bisa berbuat apa apa, perut pun mulai merasakan kekosongan, cacing mulai berontak tapi mereka tak bisa menghangatkan atau memberikannya asupan karena kompor pun mereka tidak membawa, malam bagaikan pedang yang perlahan menyayat leher mereka, akhirnya mereka terima dinginnya malam itu tanpa mengeluh sedikitpun sampai perlahan waktu menunjukan fajar akan segera muncul, orang lain pun mulai keluar dari tenda tendanya, mereka pun sama keluar dari sleeping bag yang mereka pakai, kedua pumuda itu lanjut melangkahkan kaki  ke sumber air dan mulai berwudhu, saat itu Rasyid rasakan air bagaikan eskrim yang menusuk kulit begitupun yang di rasakan Aldi, namun mereka abaikan kembali dan bersegera shalat ketika waktu subuh sudah tiba.

Setelah itu mereka makan apa adanya, hanya ada mie instan yang tersemai di dalam ransel, mereka pun makan secara mentah mentah, walau mereka tau itu tidak baik bagi lambungnya, yah begitulah bertahan hidup apapun akan mereka lakukan.

Langit pun mulai cerah, namun matahari belum juga menyentuh ubun-ubun karena sinarnya terhalang oleh bukit-bukit di sekitaran pondok saladah, mereka pun bersegera beres beres untuk melanjutkan perjalanan tanpa memikirkan kedua teman yang mereka cari, yang di tuju hanyalah puncak yaitu padang edelweiss, di mulailah perjalanan tanpa mengisi perut mereka dengan yang berat-berat hanyalah mie instan kering yang perut mereka bawa, perjalanan ke puncak lumayan jauh dan curam sampai beberapa kali berhenti sejenak, sempat Rasyid tergelincir dan jatuh ketika memanjat bebatuan, “Sakit sih tapi aku abaikan saja,”ujar Rasyid, dan akhirnya mereka pun sampai di puncak.
Rasa dingin, lapar, haus seketika pudar oleh keindahan yang Gunung Papandayan berikan, daun-daun basah oleh tetesan embun seakan mengundang mereka untuk larut dalam kesegaran, awan terlihat seperti gumpalan kapas yang membentang di seluruh kota. Rasyid dan Aldi pun berjalan ke tengah tengah padang edelweiss yang mengurung mereka berdua, seolah-olah ia tidak ingin kehilangan mereka. Matahari pun mulai menampilkan pancarannya, kulitpun mulai terasa hangat, orang-orang pun mulai berdatangan dari luar semak-semak, mereka pun sama, ketika melihat keindahan yang puncak Papandayan berikan mereka sangat menikmatinya, satu hal yang wajib para pendaki lakukan adalah boleh mengambil sesuatu asalkan itu foto, dan tidak boleh membuang sesuatu kecuali itu jejak.

Setelah sang surya mulai meninggi akhirnya perut Rasyid merintih kembali air pun sudah mulai habis, kedua pemuda itu sadar bahwa perjalanan pulang masih jauh dan memerlukan air yang banyak, namun akhirnya karena mereka lapar mereka berpencar untuk mencari ranting dan kayu yang kering, niatnya mereka akan menanak nasi di sekitaran puncak, akhirnya kayu terkumpul dan mulai mebakar satu persatu bahan bakar yang tidak terlalu banyak, beraspun tak mereka bersihkan terlebih dahulu mengingat sedikitnya persidiaan air yang mereka miliki.

Akhirnya nasi pun matang, walau kelihatannya masih belum terlalu matang tapi karena perut mereka sudah tak sabar dan kurangnya air terpaksalah mereka makan, nasi hanya ditemani oleh garam dan ikan asin bakar. Walau kelihatannya sederhana namun yang Rasyid rasakan sangat nikmat, entah ia suka atau ia lapar, nasi itu serasa nasi yang di makan di restoran ternama.

Setelah makan mereka pun melanjutkan pergi untuk meninggalkan puncak dan pulang, mereka lalui hutan mati tanpa diam atau berfoto terlebih dahulu yang mereka inginkan hanya ingin bisa pulang dan menikmati hangatnya selimut dan kasur.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jurnalisme Pembangunan

Sekilas tentang jurnalisme pembangunan, kegiatan ini berkaitan dengan pembangunan infrastruktur daerah, seperti jalan, bandara, MRT, hotel...