Gambar diambil dari Instagram @pesonaid_travel |
Oleh : Ardhies Al Misbah
Ketika itu dua orang teman Rasyid mengajaknya pergi ke suatu tempat untuk menemui indahnya panorama alam di Gunung Papandayan, dengan senang hati bak anak kecil ajakan tersebut ia terima, namun sesaat ia berfikir dan mengintip isi dompetnya apakah cukup untuk pergi kesana? dengan isi 50 ribu yang terselip ia pun nekad dan memantafkan niatnya untuk pergi, walau perbekalan seadanya yang penting cukup untuk mengisi perut.
“Sudah siap Di?,” ujar lelaki itu kepada Aldi sahabatnya sambil menggendong
ranselnya.
“Siap Yid,” jawab sahabatnya itu kepada Rasyid.
Setelah perjalanan yang lumayan jauh dari kota, mereka sampai di pintu
gerbang awal menuju Gunung Papandayan dengan menggunakan motor bebek kesayangannya
itu, sekejap mereka beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan. Rasyid sesaat
menghela nafas dengan sebatang roko yang tersemai di jemari, dan memikirkan
kedua temannya yang sudah sampai disana, perasaannya sedikit tak enak, Aldi
melihat dan merasa aneh kenapa wajah Rasyid datar dan pandangannya kosong
layaknya seperti seorang singa yang tak mempunyai taring, namun ia tidak peduli
akan hal itu, di dalam pikiran nya mungkin Rasyid hanya lelah, karena
perjalanan yang cukup jauh.
Beberapa menit setelah istirahat mereka pun berangkat, dengan hati Rasyid
yang masih deg degan, “Ah sudah lah jangan pikirkan itu semua pasti akan baik
baik saja,”seru Rasyid sambil melempar puntung rokonya. Aroma ilalang mulai
tercium kuat, rasa dingin mulai menusuk tubuh, penglihatan pun sedikit
terhalang karena kabut tebal yang mulai menyambut kehadiran mereka, cahaya sang
surya perlahan menghilang, senja pun begitu cepat berlalu tanpa ucapkan salam
sedikitpun. Dari kejauhan terlihat sebutir cahaya berwarna kuning yang
menandakan perjalanan mereka harus berhenti ditemani oleh motor bebek
kesayangannya itu, kasian ia sudah kelelahan menanggung beban mereka berdua
ditambah beratnya perlengkapan yang mereka bawa.
Akhirnya mereka sampai di pintu gerbang Gunung Papandayan dengan senyum
sambutan oleh para penjaga, obrolan kecil masalah aturan, pengecekan barang,
dan ketentuan apa saja yang harus di patuhi, dengan sedikit gelak canda yang
mengiringi mereka. Rasyid dan Aldi pun daftar menuliskan nama masing masing
beserta nomor HP yang dapat dihubungi, dengan harapan agar bisa kembali lapor
dengan selamat. Mereka di mintai biaya seikhlasnya kala itu dengan tujuan untuk
perawatan jalan dan lain-lain. Setelah selesai mereka shalat, setelah selesai
shalat Rasyid menghela nafas dingin yang menusuk kidung, ia dan sahabatnya siap
siap berangkat dengan keadaan gelap gulita, sebelum melakukan perjalanan ada
ritual yang sering mereka lakukan yaitu berdoa kepadaNya agar dilancarkan dan
dilindungi dari setiap mara bahaya yang menghampiri, dan di beri keberkahan di
setiap langkah yang mereka lalui, karena tujuan mereka adalah untuk mengagumi
ciptaanmu.
“Ini alam, apapun yang terjadi kita tidak tahu apa yang nanti akan terjadi,
semua itu adalah kuasaNya, satu amanat jangan sampai sompral (berkata mistis/tidak baik), bismillahirrohmanirrohiim,” kata itu selalu mereka ucapkan sebelum
melakukan perjalanan mendaki.
Sebetulnya mereka di larang melakukan pendakian, karena kata para penjaga
perjalanan malam cukup berbahaya, lebih baik besok saja katanya. Namun Rasyid
enggan untuk mendengarkan mereka dan melanjutkan perjalanan tanpa sepengetahuan
mereka.
Dengan di temani cahaya portabel mereka pun mulai melangkahkan kaki di
bebatuan, pengalaman sebelumnya membuat mereka tidak merasa takut untuk menjelajahinya,
ini kali kedua. Bau belerang mulai tercium seakan menyayat hidung, aromanya
memaksa masuk kedalam otak yang sedikit membuat kepala sakit. Sehelai kain
penutup mulut pun mulai mereka pakai, perjalanan sangat melelahkan kaki namun
tak melelahkan hati untuk segera sampai di tempat perkemahan. Jalan bebatuan
dan belerang mulai merelakan kedua pemuda itu pergi menjauh, sekarang hanya
tanah yang basah dan pepohonan yang rimbun mengiringi perjalanannya, sempat
mereka dapati dari arah berbeda beberapa rombongan lain berkali kali menghampiri dan menyapa kemudian
menghilang, mereka pulang.
Tidak banyak obrolan yang kedua pemuda itu lakukan, mereka terlalu sibuk
menemani nafas masing-masing yang semakin lama semakin berirama, di tengah
perjalanan mereka pun istirahat untuk mereda lelah dan menyegarkan tenggorokan.
Sebatang rokok pun menemani peristirahatannya, rasa dingin dan lelah sekejap
hilang dan tenang ketika perlahan menghirup sedikit demi sedikit asap yang keluar
dari rokok itu, sampai mereka tidak sadar rokok itu sudah menjadi puntung dan
mati dengan sendirinya.
Pejalanan pun mulai mereka lalui kembali, badan terasa sangat dingin karena
bercampurnya udara dengan keringat membasahi baju yang membalut badan mereka,
namun Rasyid dan Aldi mengabaikan rasa itu dan terus mengfokuskan fikiran ke
tempat perkemahan, “Ingin rasanya untuk cepat berbaring atau duduk diantara
hangatnya api yang menghiasi malam,”ujar hati Rasyid, namun pos dua saja belum
terlihat apalagi pondok saladah, “Ahh
sudah lah jangan terlalu banyak fikiran ayo terus langkahkan kaki mu,” ia
kembali bergumam.
Entah ini jam berapa Rasyid tak peduli karena terlalu fokus berjalan,
akhirnya setelah beberapa langkah mereka pun sampai di pos dua namun mereka abaikan,
mereka matikan lampu senter dan terus berjalan dengan langkah seperti seekor
harimau yang sedang mengintip mangsanya, mereka tidak ingin ketahuan dan lapor
di pos dua karena mereka rasa lapor di pos satu saja sudah cukup. Setelah
terlewati senter pun mereka nyalakan kembali, dan woooww mereka terkejut karena
melihat sesuatu berwarna putih, eh ternyata hanya kantong plastik, “Aing reuwas
bebel,” dalam bahasa Indonesia artinya saya terkejut, kata itu keluar dari
mulut Aldi, Rasyid pun menjawab “Aku pun sama terkejut,” sambil gelak tawa
mengiringi mereka.
Akhirnya kedua pemuda itu pun sampai di pondok
saladah sebuah spot untuk berkemah, mereka dapati banyak orang yang sudah
mendirikan tenda dengan api unggun di depannya, entah berapa banyak tenda yang
berdiri tegak di tempat itu yang jelas banyak, sampai mereka tidak tahu kedua
teman Rasyid yang sebelumnya sudah sampai disini. Namun mereka abaikan
pencarian kedua teman Rasyid, yang penting mereka shalat isya terlebih dahulu.
Sesudah itu Rasyid dan Aldi mulai berpencar mencari dimana tempat mereka, jika
sudah mengetahuinya Rasyid dan Aldi sepakat untuk bertemu di tengah lapang
dekat sumber air.
Rasyid pun berjalan ke arah kanan entah itu Utara atau Selatan yang penting
berpencar, teriakan ia mengiringi langkah sembari melihat kiri kanan mencari
tenda mereka. Namun Rasyid tak sedikitpun mendapati sautan mereka entah tidak
terdengar oleh mereka atau mungkin memang tidak ada di arah Rasyid atau juga
mereka terlalu sibuk bermimpi sehingga tak mendengar. Rasyid pun kembali ke
tempat pertemuan dengan Aldi dengan harapan sahabatnya menemukan mereka, rasa
dingin mulai menyiksa tubuhnya, mengigil seluruh tubuhnya, tangannya sudah tak merasakan
apapun.
Aldi sudah menunggu ia di tengah lapang, Rasyid pun bergerak menghampirinya
dan ternyata sahabatnya pun tak menemukan mereka, “Ya sudahlah Di kita
istirahat dulu deh, jangan sampai kita kelelahan,” mereka pun menghampiri tenda
orang lain yang sedang membakar sesuatu entah bahan bakarnya ia dapatkan dari
mana yang penting mereka bisa merasakan hangat, dengan sedikit malu kedua
pemuda itu pun menyapanya.
“Halo bang, apa kabar? hehe,” tanya Rasyid dengan nada malu.
“Eh baik mas baik,” jawab pria berambut gondrong itu.
“Boleh bang ikut ngangeut?,”
“Pasti boleh lah, yu mari mas mari.”
Akhirnya Rasyid dan Aldi pun mendapat kehangatan dari bara api yang melebur
dalam dinginnya malam, mereka sedikit ngobrol dengan pria gondrong itu, anehnya
tak pernah terucap kata untuk menanyakan nama, hanya asal yang mereka saling
tanyakan. Rasyid pun mengeluarkan sebungkus kopi dan menawarkan rokok kepada
pria gondrong itu namun ia menolaknya karena sedari tadi sudah terlalu banyak
mengisap rokok, tak terlalu lama sesudah sebatang rokok dan kopi habis, Rasyid
dan Aldi pun pamit dengan alasan untuk kembali mencari kedua temannya.
Kedua pemuda itu kembali berpercar namun yang mereka dapatkan hanyalah
dingin dan keringat yang membalut, akhirnya mereka pun memutuskan untuk diam
dan mencari tempat untuk berkemah, karena Rasyid rasa akan sia-sia jika pencarian
tetap di lakukan, mereka pun memilih tempat yang sedikit tertutup oleh
pepohonan, walau tak landai tapi tak apa yang penting angin malam tidak terlalu
menyayat tubuh kami. Setelah itu kami buka matras dan kami gelar di tanah yang
sedikit basah, tanpa mendirikan tenda karena kami tidak membawanya.
Rasyid sedikit merasa bersalah karena tidak berhasil menemukan kedua
temannya, dan terpaksa harus tidur tanpa adanya atap kain yang melindungi
mereka, Rasyid mulai mencari ranting-ranting pohon yang jatuh namun apa daya
hanyalah daun saja yang berserakan, jikalau ada ranting pun pasti ia dapati
ranting itu masih basah.
“Yah ga ada penghangat untuk malam ini” Rasyid bergumam.
Rasyid pun kembali ke tempat itu, dan ia dapati Aldi sudah membereskan
peralatan dan memakai tiga rankap baju dan dua rangkap celana, ia ingin tertawa
melihat kelucuannya namun karena dinginnya malam Rasyid merasa wajar saja jika
ia seperti itu.
Rasa kantuk mulai menyelimuti, ia keluarkan sleepingbag dari ransel dan mulai masuk kedalamnya, beberapa detik
memang terasa hangat namun setelahnya dingin tetap memaksa masuk kedalam dan
dingin kembali menyapa tubuhnya, ia abaikan rasa itu karena rasa tubuhnya sudah
lelah untuk berbuat apa apa, yang ia inginkan ketika itu hanyalah supaya bisa
tidur nyenyak dan hangat.
Beberapa lama berlalu namun pikiran Rasyid tak pernah larut kedalam mimpi,
hanya matanya yang beristirahat, mengigil tubuhnya, tak kuat rasanya, akhirnya
ia menyerah dan berusaha bangun dan duduk teridiam, ia lihat Aldi pun sama
mengigil tubuhnya tapi apa daya mereka tak bisa berbuat apa apa, perut pun
mulai merasakan kekosongan, cacing mulai berontak tapi mereka tak bisa
menghangatkan atau memberikannya asupan karena kompor pun mereka tidak membawa,
malam bagaikan pedang yang perlahan menyayat leher mereka, akhirnya mereka
terima dinginnya malam itu tanpa mengeluh sedikitpun sampai perlahan waktu
menunjukan fajar akan segera muncul, orang lain pun mulai keluar dari tenda
tendanya, mereka pun sama keluar dari sleeping bag yang mereka pakai, kedua
pumuda itu lanjut melangkahkan kaki ke
sumber air dan mulai berwudhu, saat itu Rasyid rasakan air bagaikan eskrim yang
menusuk kulit begitupun yang di rasakan Aldi, namun mereka abaikan kembali dan
bersegera shalat ketika waktu subuh sudah tiba.
Setelah itu mereka makan apa adanya, hanya ada mie instan yang tersemai di
dalam ransel, mereka pun makan secara mentah mentah, walau mereka tau itu tidak
baik bagi lambungnya, yah begitulah bertahan hidup apapun akan mereka lakukan.
Langit pun mulai cerah, namun matahari belum juga menyentuh ubun-ubun karena
sinarnya terhalang oleh bukit-bukit di sekitaran pondok saladah, mereka pun
bersegera beres beres untuk melanjutkan perjalanan tanpa memikirkan kedua teman
yang mereka cari, yang di tuju hanyalah puncak yaitu padang edelweiss, di
mulailah perjalanan tanpa mengisi perut mereka dengan yang berat-berat hanyalah
mie instan kering yang perut mereka bawa, perjalanan ke puncak lumayan jauh dan
curam sampai beberapa kali berhenti sejenak, sempat Rasyid tergelincir dan
jatuh ketika memanjat bebatuan, “Sakit sih tapi aku abaikan saja,”ujar Rasyid,
dan akhirnya mereka pun sampai di puncak.
Rasa dingin, lapar, haus seketika pudar oleh keindahan yang Gunung
Papandayan berikan, daun-daun basah oleh tetesan embun seakan mengundang mereka
untuk larut dalam kesegaran, awan terlihat seperti gumpalan kapas yang membentang
di seluruh kota. Rasyid dan Aldi pun berjalan ke tengah tengah padang edelweiss
yang mengurung mereka berdua, seolah-olah ia tidak ingin kehilangan mereka.
Matahari pun mulai menampilkan pancarannya, kulitpun mulai terasa hangat,
orang-orang pun mulai berdatangan dari luar semak-semak, mereka pun sama, ketika
melihat keindahan yang puncak Papandayan berikan mereka sangat menikmatinya,
satu hal yang wajib para pendaki lakukan adalah boleh mengambil sesuatu asalkan
itu foto, dan tidak boleh membuang sesuatu kecuali itu jejak.
Setelah sang surya mulai meninggi akhirnya perut Rasyid merintih kembali
air pun sudah mulai habis, kedua pemuda itu sadar bahwa perjalanan pulang masih
jauh dan memerlukan air yang banyak, namun akhirnya karena mereka lapar mereka
berpencar untuk mencari ranting dan kayu yang kering, niatnya mereka akan
menanak nasi di sekitaran puncak, akhirnya kayu terkumpul dan mulai mebakar
satu persatu bahan bakar yang tidak terlalu banyak, beraspun tak mereka bersihkan
terlebih dahulu mengingat sedikitnya persidiaan air yang mereka miliki.
Akhirnya nasi pun matang, walau kelihatannya masih belum terlalu matang
tapi karena perut mereka sudah tak sabar dan kurangnya air terpaksalah mereka
makan, nasi hanya ditemani oleh garam dan ikan asin bakar. Walau kelihatannya
sederhana namun yang Rasyid rasakan sangat nikmat, entah ia suka atau ia lapar,
nasi itu serasa nasi yang di makan di restoran ternama.
Setelah makan mereka pun melanjutkan pergi untuk meninggalkan puncak dan
pulang, mereka lalui hutan mati tanpa diam atau berfoto terlebih dahulu yang
mereka inginkan hanya ingin bisa pulang dan menikmati hangatnya selimut dan
kasur.