Bill Kovach
dan Tom Rosenstiel (2001), dalam bukunya The Elements of Journalism, What
Newspeople Should Know and the Public Should Expect (New York: Crown
Publishers), merumuskan prinsip-prinsip itu dalam Sembilan Elemen Jurnalisme
sebagai berikut:
1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran
Kewajiban para
jurnalis adalah menyampaikan kebenaran, sehingga masyarakat bisa memperoleh
informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat. Bentuk kebenaran jurnalistik
yang ingin dicapai ini bukan sekadar akurasi, namun merupakan bentuk kebenaran
yang praktis dan fungsional.
Ini bukan
kebenaran mutlak atau filosofis. Akan tetapi, merupakan suatu proses menyortir
(sorting-out) yang berkembang antara cerita awal, dan interaksi antara publik,
sumber berita (newsmaker), dan jurnalis dalam waktu tertentu. Prinsip pertama
jurnalisme pengejaran kebenaran, yang tanpa dilandasi kepentingan tertentu
(disinterested pursuit of truth)—adalah yang paling membedakannya dari bentuk
komunikasi lain.
Contoh
kebenaran fungsional, misalnya, polisi menangkap tersangka koruptor berdasarkan
fakta yang diperoleh. Lalu kejaksaan membuat tuntutan dan tersangka itu
diadili. Sesudah proses pengadilan, hakim memvonis, tersangka itu bersalah atau
tidak-bersalah. Apakah si tersangka yang divonis itu mutlak bersalah atau
mutlak tidak-bersalah?
Kita memang
tak bisa mencapai suatu kebenaran mutlak. Tetapi masyarakat kita, dalam konteks
sosial yang ada, menerima proses pengadilan –serta vonis bersalah atau
tidak-bersalah-- tersebut, karena memang hal itu diperlukan dan bisa
dipraktikkan. Jurnalisme juga bekerja seperti itu.
2. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga (citizens)
Organisasi
pemberitaan dituntut melayani berbagai kepentingan konstituennya: lembaga
komunitas, kelompok kepentingan lokal, perusahaan induk, pemilik saham,
pengiklan, dan banyak kepentingan lain. Semua itu harus dipertimbangkan oleh
organisasi pemberitaan yang sukses. Namun, kesetiaan pertama harus diberikan
kepada warga (citizens). Ini adalah implikasi dari perjanjian dengan publik.
Komitmen
kepada warga bukanlah egoisme profesional. Kesetiaan pada warga ini adalah
makna dari independensi jurnalistik. Independensi adalah bebas dari semua
kewajiban, kecuali kesetiaan terhadap kepentingan publik.
Jadi, jurnalis
yang mengumpulkan berita tidak sama dengan karyawan perusahaan biasa, yang
harus mendahulukan kepentingan majikannya. Jurnalis memiliki kewajiban sosial,
yang dapat mengalahkan kepentingan langsung majikannya pada waktu-waktu
tertentu, dan kewajiban ini justru adalah sumber keberhasilan finansial majikan
mereka.
3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi
Yang
membedakan antara jurnalisme dengan hiburan (entertainment), propaganda, fiksi,
atau seni, adalah disiplin verifikasi. Hiburan –dan saudara sepupunya
―infotainment‖— berfokus pada apa yang paling bisa memancing perhatian.
Propaganda akan menyeleksi fakta atau merekayasa fakta, demi tujuan sebenarnya,
yaitu persuasi dan manipulasi. Sedangkan jurnalisme berfokus utama pada apa
yang terjadi, seperti apa adanya.
Disiplin
verifikasi tercermin dalam praktik-praktik seperti mencari saksi-saksi
peristiwa, membuka sebanyak mungkin sumber berita, dan meminta komentar dari
banyak pihak. Disiplin verifikasi berfokus untuk menceritakan apa yang terjadi
sebenar-benarnya. Dalam kaitan dengan apa yang sering disebut sebagai
―obyektivitas‖ dalam jurnalisme, maka yang obyektif sebenarnya bukanlah
jurnalisnya, tetapi metode yang digunakannya dalam meliput berita.
Ada sejumlah
prinsip intelektual dalam ilmu peliputan: 1) Jangan menambah-nambahkan sesuatu
yang tidak ada; 2) Jangan mengecoh audiens; 3) Bersikaplah transparan sedapat
mungkin tentang motif dan metode Anda; 4) Lebih mengandalkan pada liputan
orisinal yang dilakukan sendiri; 5) Bersikap rendah hati, tidak menganggap diri
paling tahu.
4. Jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput
Jurnalis harus
tetap independen dari faksi-faksi. Independensi semangat dan pikiran harus
dijaga wartawan yang bekerja di ranah opini, kritik, dan komentar. Jadi, yang
harus lebih dipentingkan adalah independensi, bukan netralitas. Jurnalis yang
menulis tajuk rencana atau opini, tidak bersikap netral. Namun, ia harus
independen, dan kredibilitasnya terletak pada dedikasinya pada akurasi,
verifikasi, kepentingan publik yang lebih besar, dan hasrat untuk memberi
informasi.
Adalah penting
untuk menjaga semacam jarak personal, agar jurnalis dapat melihat segala
sesuatu dengan jelas dan membuat penilaian independen. Sekarang ada
kecenderungan media untuk menerapkan ketentuan ―jarak‖ yang lebih ketat pada
jurnalisnya. Misalnya, mereka tidak boleh menjadi pengurus parpol atau
konsultan politik politisi tertentu.
Independensi
dari faksi bukan berarti membantah adanya pengaruh pengalaman atau latar
belakang si jurnalis, seperti dari segi ras, agama, ideologi, pendidikan,
status sosial-ekonomi, dan gender. Namun, pengaruh itu tidak boleh menjadi
nomor satu. Peran sebagai jurnalislah yang harus didahulukan.
5. Jurnalis harus melayani sebagai pemantau independen terhadap
kekuasaan
Jurnalis harus
bertindak sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan. Wartawan tak sekedar
memantau pemerintahan, tetapi semua lembaga kuat di masyarakat. Pers percaya
dapat mengawasi dan mendorong para pemimpin agar mereka tidak melakukan hal-hal
buruk, yaitu hal-hal yang tidak boleh mereka lakukan sebagai pejabat publik
atau pihak yang menangani urusan publik. Jurnalis juga mengangkat suara pihak-pihak
yang lemah, yang tak mampu bersuara sendiri.
Prinsip
pemantauan ini sering disalahpahami, bahkan oleh kalangan jurnalis sendiri,
dengan mengartikannya sebagai ―mengganggu pihak yang menikmati kenyamanan.‖
Prinsip pemantauan juga terancam oleh praktik penerapan yang berlebihan, atau
―pengawasan‖ yang lebih bertujuan untuk memuaskan hasrat audiens pada sensasi,
ketimbang untuk benar-benar melayani kepentingan umum.
Namun, yang
mungkin lebih berbahaya, adalah ancaman dari jenis baru konglomerasi korporasi,
yang secara efektif mungkin menghancurkan independensi, yang mutlak dibutuhkan
oleh pers untuk mewujudkan peran pemantauan mereka.
6. Jurnalisme harus menyediakan forum bagi kritik maupun komentar dari
publik
Apapun media
yang digunakan, jurnalisme haruslah berfungsi menciptakan forum di mana publik
diingatkan pada masalah-masalah yang benar-benar penting, sehingga mendorong
warga untuk membuat penilaian dan mengambil sikap.
Maka,
jurnalisme harus menyediakan sebuah forum untuk kritik dan kompromi publik. Demokrasi
pada akhirnya dibentuk atas kompromi. Forum ini dibangun berdasarkan
prinsip-prinsip yang sama sebagaimana halnya dalam jurnalisme, yaitu:
kejujuran, fakta, dan verifikasi. Forum yang tidak berlandaskan pada fakta akan
gagal memberi informasi pada publik.
Sebuah
perdebatan yang melibatkan prasangka dan dugaan semata hanya akan mengipas
kemarahan dan emosi warga. Perdebatan yang hanya mengangkat sisi-sisi ekstrem
dari opini yang berkembang, tidaklah melayani publik tetapi sebaliknya justru
mengabaikan publik. Yang tak kalah penting, forum ini harus mencakup seluruh
bagian dari komunitas, bukan kalangan ekonomi kuat saja atau bagian demografis
yang menarik sebagai sasaran iklan.
7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan
relevan
Tugas jurnalis
adalah menemukan cara untuk membuat hal-hal yang penting menjadi menarik dan
relevan untuk dibaca, didengar atau ditonton. Untuk setiap naskah berita,
jurnalis harus menemukan campuran yang tepat antara yang kurang serius dan yang
kurang-serius, dalam pemberitaan hari mana pun.
Singkatnya,
jurnalis harus memiliki tujuan yang jelas, yaitu menyediakan informasi yang
dibutuhkan orang untuk memahami dunia, dan membuatnya bermakna, relevan, dan
memikat. Dalam hal ini, terkadang ada godaan ke arah infotainment dan
sensasionalisne.
8. Jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional
Jurnalisme itu
seperti pembuatan peta modern. Ia menciptakan peta navigasi bagi warga untuk
berlayar di dalam masyarakat. Maka jurnalis juga harus menjadikan berita yang
dibuatnya proporsional dan komprehensif.
Dengan
mengumpamakan jurnalisme sebagai pembuatan peta, kita melihat bahwa proporsi
dan komprehensivitas adalah kunci akurasi. Kita juga terbantu dalam memahami
lebih baik ide keanekaragaman dalam berita.
9. Jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka
Setiap
jurnalis, dari redaksi hingga dewan direksi, harus memiliki rasa etika dan
tanggung jawab personal, atau sebuah panduan moral. Terlebih lagi, mereka punya
tanggung jawab untuk menyuarakan sekuat-kuatnya nurani mereka dan membiarkan
yang lain melakukan hal yang serupa.
Agar hal ini
bisa terwujud, keterbukaan redaksi adalah hal yang penting untuk memenuhi semua
prinsip jurnalistik. Gampangnya mereka yang bekerja di organisasi berita harus
mengakui adanya kewajiban pribadi untuk bersikap beda atau menentang redaktur,
pemilik, pengiklan, dan bahkan warga serta otoritas mapan, jika keadilan
(fairness) dan akurasi mengharuskan mereka berbuat begitu.
Dalam kaitan
itu, pemilik media juga dituntut untuk melakukan hal yang sama. Organisasi
pemberitaan, bahkan terlebih lagi dunia media yang terkonglomerasi dewasa ini,
atau perusahaan induk mereka, perlu membangun budaya yang memupuk tanggung
jawab individual. Para manajer juga harus bersedia mendengarkan, bukan cuma
mengelola problem dan keprihatinan para jurnalisnya.
10. Warga juga memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang
terkait dengan berita.
Elemen terbaru
ini muncul dengan perkembangan teknologi informasi, khususnya internet. Warga
bukan lagi sekadar konsumen pasif dari media, tetapi mereka juga menciptakan
media sendiri. Ini terlihat dari munculnya blog, jurnalisme online, jurnalisme
warga (citizen journalism), jurnalisme komunitas (community journalism) dan
media alternatif. Warga dapat menyumbangkan pemikiran, opini, berita, dan
sebagainya, dan dengan demikian juga mendorong perkembangan jurnalisme. ***
SUMBER
UTAMA :
Bill
Kovach & Tom Rosenstiel. 2001. The Elements of Journalism. New York: Crown
Publishers.
Biodata
Penulis:
* Satrio Arismunandar adalah
anggota-pendiri Aliansi Jurnalis Independen atau AJI (1994), Sekjen AJI (1995-
97), anggota-pendiri Yayasan Jurnalis Independen (2000), dan menjadi DPP
Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1993-95. Pernah menjadi jurnalis
Harian Pelita (1986-88), Kompas (1988-1995), Majalah D&R (1997- 2000), Harian
Media Indonesia (2000-Maret 2001), Produser Eksekutif Divisi News Trans TV
(Februari 2002-Juli 2012), dan Redaktur Senior Majalah Aktual – www.aktual.co
(sejak Juli 2013). Alumnus Program S2 Pengkajian Ketahanan Nasional UI ini
sempat jadi pengurus pusat AIPI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia) 2002-2011.
Kontak Satrio Arismunandar:
E-mail:
satrioarismunandar@yahoo.com; arismunandar.satrio@gmail.com
Blog pribadi:
http://satrioarismunandar6.blogspot.com
Mobile: 081286299061